予備的

Gado - Gado

Blog yang Mana di buat untuk berbagi posting yang positif, dan berusaha untuk memperbaiki Moral Pribadi dan Ente-ente pada. Dan saya Berharap beberapa darimana posting saya dapat di terapkan di Kehidupan Pribadi lepas Pribadi. Happy Nice Day :
)

Multi-styled Text Generator at TextSpace.net

Sabtu, 20 Agustus 2011

SIKAP

"YANG dilihat dari manusia, disamping pesona personanya, adalah sikapnya dalam menghadapi dan menyikapi sesuatu keadaan. Dengan segenap kepandiran, saya belajar banyak ikhwal berbagai peristiwa di berbagai episode kehidupan berbangsa dan bernegara sebelum ini. Sungguh, semuanya menarik untuk dijadikan sebagai cermin besar untuk kita bercermin.


Ada suatu masa, bangsa ini berdiri tegak, lantaran begitu banyak manusia bermutu dan mempunyai sikap hidup yang prima dalam memandang situasi dan kondisi. Manusia-manusia utama yang tidak memandang jabatan dan kedudukan sebagai sesuatu yang luar biasa.

Soekarno, proklamator kemerdekaan bangsa ini, rela keluar masuk penjara untuk sikapnya. Kita juga mencatat Dr. Moch. Hatta, yang untuk suatu sikap yang dia yakini kebenarannya, meletakkan jabatannya. Lantas sejumlah nama yang tak kalah pentingnya: Agus Salim, Sjahrir, Moch Natsir, Moch Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, Sudjatmoko, dan lainnya.

Mengikuti dinamika jaman, kita juga mencatat sosok Abu Daud Beur’euh, Kahar Muzakar, hingga mereka beroleh julukan sebagai pemberontak. Kemudian kita bisa mencatat nama AH Nasution, Ali Sadikin, HR Darsono, Hoegeng Iman Santoso, Prof. Dr. H. Deliar Noer, Ir. H. Sanusi, dan para tokoh lainnya yang memilih sikap kritis dalam menjalankan peran sosialnya sebagai warga bangsa.

Indonesia melahirkan banyak tokoh dengan integritas tinggi, bersikap jelas terhadap dinamika kehidupan politik di jamannya. Selain nama-nama itu, kita juga bisa mencatat begitu banyak nama lain, sebagai contoh insan Indonesia yang bersikap kritis dan berkepribadian. Kita sebut saja: Rendra, Munir, dan lainnya.

Nilai dan cermin kepribadian seseorang memang nampak dalam sikap hidupnya. Termasuk sikap politik. Mereka yang bersikap kritis terhadap kekuasaan, dan selalu konsisten berada di jalurnya untuk menjalankan fungsi kontrol, merupakan orang-orang terhormat yang ketika menegakkan kepala, kita dapatkan kemuliaan di keningnya. Mereka adalah orang-orang cerdas, yang dikaruniai Tuhan, keberanian menatap realitas dengan terang dan nyalang.

Bagi saya, manusia semacam ini, merupakan manusia terhormat. Bukan seperti manusia pandir dan bebal macam saya, yang membiarkan diri terjerembab dalam kekumuhan batin. Diam dan membiarkan terjadinya fenomena kultus individu yang bisa mencelakakan, tidak hanya pemimpin bangsa ini. Melainkan juga, rakyat dari bangsa ini.  Inilah sikap yang harus disuarakan kini.

Sikap merasa bersalah dan berdosa terhadap kepandiran dan kebebalan diri, yang telah membiarkan terjadinya proses pembenaran. Sebelum hanyut ke dalam samodera nina bobo dan tenggelam di palung kultus individu, kesadaran harus dibangunkan.  Kondisi bangsa ini, mengajarkan saya kesadaran baru untuk malu. Hanyut oleh arus pembenaran, akan  mengacaukan kebenaran.

Alhasil, realitas sosial sehari-hari, menyadarkan saya untuk menemukan kembali nilai hidup hakiki. Yaitu: sikap kehidupan  nyata untuk sungguh domba ketika memang domba, sungguh serigala ketika memang serigala. Tak perlu menjadi serigala berbulu domba. Bila kucing nyatakan kucing, bila harimau nyatakan diri sebagai harimau, tak perlu menjadi kucing dengan aum harimau, atau harimau dengan ngiau kucing.

Jalan kebenaran terentang panjang dan tak boleh ditutupi oleh permadani dan karpet pembenaran. Bersikap merupakan cara menentukan bagaimana mesti berjalan. Saya harus bersikap, tak boleh selamanya membiarkan diri menjadi pandir, karena pada suatu waktu tertentu harus menjadi cerdas. Dengan kecerdasan itu, saya bisa mendidik anak cucu bagaimana berpolitik secara benar.

Intinya adalah: sikap asasi tak hanya harus dinyatakan, tapi harus dilaksanakan dan diwujudkan. Mendukung kebaikan tidak lagi boleh dengan pembenaran, melainkan harus dengan kebenaran.
Etosnya harus jelas: kita harus segera keluar dari ‘keseolah-olahan’, dan harus sungguh menjadi sesuatu yang nyata. Kita tidak boleh lagi ‘seolah-olah jauh’, padahal dekat. Tidak boleh lagi ‘seolah-olah dekat’, padahal jauh.  Kita tak pantas ‘seolah-olah cerdas’, padahal pandir.  Bila sungguh kita bersahabat, maka kita harus selalu mengingatkan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar